"Ini tentang seorang anak manusia yang terjantuh lalu bangkit lagi dan terjantuh lagi namun kembali lebih memilih untuk bangkit lagi dalam kesadarnya bertekad untuk memperbaiki dan merubah jalan pikirnya namun jika ingin seperti itu tidak lah lebih baik jika pergi dari satu tempat yang menyimpan banyak kenangan tidak ingin mengingat kembali apa yang sudah di alaminya dan menghapus semua yang telah terjadi menuju untuk lebih membuka mata bahwa di luar sana cakrawala kan lebih luas"
Tenggelamnya Kapal Vanderwicjk
Bagian 1
Roman “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” ini memperoleh “ilham”-nya saat Hamka tetap berusia 31 th. Usia sekian yaitu periode darah belia yg tetap serta-merta alirnya dalam diri, juga khayal & sentimen tetap menggeluti jiwa. Thn 1938 terlahirlah roman tersebut. Mula-mulanya roman ini merupakan sebagian narasi bersambung yg dimuat dalam Majalah yg dipimpinnya ialah “Pedoman Masyarakat”.
Setelah Itu oleh saudara M. Syarkawi cerita-cerita itu dibukukan. Belum lama tersiar buku itupun lekas habis. Tidak Sedikit pemuda yg berbicara : “Seakan-akan tuan menceritakan nasibku sendiri”. Ada serta yg berbicara : “Barangkali tuan sendiri yg tuan ceritakan!”.
Terhadap era itu, bagi satu orang golongan agama, mengarang suatu buku roman yakni menyalahi tradisi umum & lazim. Dari kalangan agama kepada mulanya mendapat tantangan keras. Namun sesudah 10 thn berselang, bersama sendirinya heninglah serangan & tantangan itu. Makin lama, orang mulai sejak menyadari perlunya kesenian & keindahan dalam hidup manusia.
Ada juga yg berbicara : “Bilakah lagi tuan bakal menciptakan narasi yang merupakan “Di bawah Lindungan Ka’bah” & “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” & yg lain-lain itu?” Agaknya pertanyaan itu berat dijawabnya, dikarenakan harapan masihlah masihlah agung & tinggi, sedang umur sudah bertambah & era sudah beralih. Khayal & sentimen era bujang kian hri kian terdesak oleh beraneka ragam pengalaman, terutama sebelum revolusi.
Balai Pustaka membawa roman ini juga sebagai perbendaharaan tanah-air yg selalu bekerja keras memajukan perpustakaan & kesusastraan tanah-air. Baik di era yg sudah dilampauinya, lebih-lebih setelah kemerdekaan bangsa & nusa. Berapakalipun roman ini kerap dicetak ulang, suasana, jalan narasi, ataupun perasaan pengarang masih terasa sampai sekarang. Itulah yg jadi puncak kejayaan jiwa karya ini, baik di era belia & di era sebelum suasana merdeka.
Roman ini berceritakan berkaitan satu orang pemuda bernama Zainuddin yg tinggal di kota Mengkasar. Berlatar belakang pantai di Mandar, pengarang sejak mulai membangun narasi & memperkenalkan tokoh mutlak. Histori ditariknya seperti lokasi di mana Pangeran Diponegoro ditahan yang merupakan buangan politik. Adat Mengkasar sedikit dikenalkan. Perdana penuh dgn hikayat-hikayat. Keindahan kota Mengkasar tergambar indah. Menceritakan kekaguman pada alam Mengkasar. Keindahan itu berbibit lamunan, di umur yg beranjak dewasa menciptakan Zainuddin teringat kata Ayahnya sebelum menutup mata. Sejak mungil sudah dirundung oleh kemalangan.
Sejatinya Ayahnya dulu yakni satu orang anak bujang yg bergelar Pandekar Sutan, *)kemenakan (keponakan) Datuk Mantari Labih. Pandekar Sutan ialah kepala hak waris tunggal dari harta peninggalan ibunya, lantaran dirinya tak mempunyai saudara wanita. Menurut rutinitas Minangkabau, seseorang pria dianggap malang nasibnya jikalau tak memiliki saudara wanita. Sebab saudara perempuanlah yg dapat menjaga harta benda, sawah yg berjenjang, bandar buatan, lumbung berperang, & hunian nan gadang. Sesudah ibunya wafat, Pandekar Sutan diasuh oleh *)mamaknya (paman) yg bernama Datuk Mantari Labih. Pamannya tidak pandai menukuk ataupun menambah harta benda, cuma pandai menghabiskan saja. Harta benda seperti sekian banyak petak sawah & suatu gong pusaka sudah tergadai ke tangan orang lain. Apabila Pandekar Sutan laksanakan factor yg sama, sehingga mamaknya dapat melarangnya. Elemen itu bisa dipandang dari dialog berikut :
“Daripada engkau menghabiskan harta itu, lebih baik engkau hilang dari negara, aku lebih suka”.
Terang telah tergambar oleh kemenakannya amarah yg bergelora menyaksikan sikap mamaknya itu. Aturan berlebihan dari etika,”Nan sehasta, nan sejengkal, & setampok, suatu jari”. Rupanya tidak cuma mamaknya saja yg menghalang-halangi tujuan diri hendak berumah tangga, hendak kawin, dari pihak kemenakan-kemenakan yg jauh terutama pihak wanita teramat menghalangi. Harta benda peninggalan ibunya mesti jatuh ke tangan mereka, janganlah hingga jatuh ke tangan anaknya sendiri, Pandekar Sutan.
Hingga sebuah saat, Pandekar Sutan naik pitam. Pertikaianpun berlangsung. Malangpun timbul, Percekcokkan itu berbuah naas. Pamannya terkulai tidak berdaya di lantai. Pisau belati itu tertancap pas di lambung kiri menyangkut jantung mamaknya. Perebutan harta warisan itu berbuah petaka selamanya. Pamannya wafat. Vonis dijatuhkan & menyebut Pandekar Sutan bersalah. Ia dibuang ke penjara Cilacap. Penjara itu konon yg paling mahsyur buat buangan-buangan Sumatera. 1.0 Lebih Banyak Karangan Dan Novel
Dari pembuangan Cilacap beliau diboyong ke tanah Bugis. Kehidupannya di bui mempengaruhinya. Tingkah Laku sejak mungil itu agaknya terus masihlah berlaku. Beliau sejak mulai disegani dikalangan beberapa orang rantai. Kondisi memaksa hati kecilnya berbuat begitu. Sampai satu buah takdir membawanya menemui Daeng Habibah. Anak gadis yg dipunyai seseorang lanjut umur keturunan Bangsa Melayu. Sesudah mereka menikah mempunyai anak tunggal. Zainuddin merupakan anak mereka.
Bagian 2
Satu Orang lanjut umur yg bertahun-tahun mengasuhnya itu bernama Mak Base, yg mempunyai nama ori Daeng Manippi, satu orang wanita lanjut umur yg penuh takhayul. Dari Mak Baselah Zainuddin mulai sejak mengenal ibunya. Ibunya sudah lama ga ada, meninggalkannya kala tetap berumur 9 bln, berbulan-bulan menderita sakit. Dari narasi Mak Base serta Zainuddin mengenal Ayahnya. Ayahnya merasa berat hati sepeninggalan istrinya. Tidak tega menonton Zainuddin yg tetap sekecil telah menanggung beban seberat ini.
Perkawinan Ayahnya tak disetujui oleh segenap keluarga, maka Mak Base dibenci orang & perkawinan itu memutuskan interaksi keluarga. Sepeninggalan istrinya, Ayah Zainuddin sejak mulai memperdalam ilmu agama, sesekali mengajarkannya. Kebiasaan Minangkabau menghalanginya buat pulang ke kampung halaman. Di Minangkabau orang merasa malu seandainya beliau belum beristri orang kampungnya sendiri. Berbini di rantau orang artinya hilang.
Waktu Zainuddin, anaknya, telah pandai menangis & bersedih, kodrat Tuhan berkehendak lain. Ayahnya bertolak menyusul Ibunya. Firasat lebih dahulu ada sebelum Ayahnya menutup mata. Surat wasiatpun ditinggalkannya sampai tiba ajal memanggilnya. 1.1 Baca Juga Novel Misteri Horor
Kehendak hati buat mencari tahu menyangkut tanah Padang makin menjadi-jadi. Zainuddin mau berangkat mempelajari di sana. Dia hendak menuntut ilmu sekolah agama; mau melanjutkan perjuangan ke-2 orangtuanya. Puncak Singgalang & Merapi dirasanya seakan-akan mengundang buat datang ke Padang. Dirinya teramat mau menyaksikan tanah asal; tanah ruang Ayahnya dilahirkan. Diutarakannya ke-2 kemauan itu terhadap Mak Base; sekolah di Padang & mencari tahu ruangan Ayahnya dilahirkan.
Mak Base berat hati berikan ijin. Hati nurani satu orang ibu memang lah nampak kala Mak Base tidak tega meninggalkannya, karena sejak mungil dirinya merawat Zainuddin. Mak Base juga hingga mengutarakan alangkah beruntungnya sanggup berhubungan dekat dgn Ayah-Bundanya hingga sampai kini; telah merasa seperti keluarga sendiri. Elemen yg jadi pertimbangan Mak Base ialah lokasi tinggal; ga ada satu saudara serta di Padang. Seandainya bukan lantaran wasiat dari Ibunya & angan-angan Ayahnya, Mak Base tidak ingin mengijinkannya; ia dapat menyuruh buat mencari ilmu di Mengkasar saja.
Bagian 3
Dgn dalih utk mengakhiri kesedihan yg berangsur terus-menerus, Zainuddin mengupayakan utk meyakinkan Mak Base bahwa ia bakal baik-baik saja di sana. Niatnya tidak ingin urung oleh kesedihan Mak Base.
Satu Buah ketetapan telah diambil. Mak Base bersama terpaksa mengizinkan Zainuddin pergi ke Padang. Segala aset disiapkan; suatu kasur, suatu peti kayu, & lokasi tidur buat di Kapal. Mak Base mempermudah mempersiapkannya. Jadwal keberangkatan kapal pukul 5 sore. Sedang pukul 9 pagi, beliau berangkat dahulu ke pusara Ayah-Ibunya di Kampung Jera ditemani Mak Base. Sesudah selesai mereka pulang.
Dulu Mak Base memberikan banyaknya duit peninggalan Ayahnya. Zainuddin cuma membawa ongkos utk keberangkatan. Dia meminta utk dikirimi duit bulanan buat anggaran hidup di sana. Dirinya beralasan agar duit itu buat dibuat dagang. Agar kelak untungnya lumayan buat keperluan sehari-hari Mak Base. Interaksi keduanya benar-benar amat sangat dekat. Itu nampak disaat Zainuddin mengemukakan terhadap Mak Base utk beranggapan rumahnya sebagaimana hunian sendiri. Zainuddin benar-benar berbudi baik. Ketentuan yg dibuat Zainuddin itu mencegah kehendak Mak Base utk pulang kembali ke Bulukumba menemui keluarganya yg tetap ada.
Tiba ketika dapat bertolak. Mak Base mengiringinya hingga kapal. Sungguh berat hati Mak Base melepasnya. Mak Basepun menangis sejadi-jadinya. Hati Mak Base mengisyaratkan agaknya mereka tak bakal berjumpa lagi.
Peluit kapal berbunyi. Pertanda kapal dapat langsung berlayar. Di pinggir, Mak Base memandanginya seakan-akan ini yakni jumpa terakhir bersama Zainuddin. Kapal pergi dari pelabuhan Mengkasar. Perpisahan itu kelihatan ketika tidak sedikit orang mengibar-ngibarkan saputangan. Perlahan kapal makin menjauh. ...... ... ....
Sampai Jumpa Lagi Di Kisah Selanjutnya Tetap Update Kisah Tentang "Tenggelamnya Kapal Vander Wijck" Di Situs http://tiga-harimengobatisipilis.blogspot.com
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.